Translate

Sabtu, 11 Februari 2017

ASPEK ANTROPOLOGI SOSIAL



ASPEK ANTROPOLOGI SOSIAL
A.Sistem Mata Pencaharian
            Untuk dapat  memahami  sistem mata pencaharian nenek moyang manu-sia, perlu dijelaskan tentang perkembangan mata pencaharian tersebut, yakni dari berburu dan meramu, perikanan, permulaan bercocok tanam, bercocok tanam di ladang, dan bercocok tanam menetap.

1.      Berburu dan Meramu
Sehubungan dengan berburu dan meramu akan dikemukakan beberapa  hal yang berkaitan dengan mata pencaharian tersebut, yakni hubungan antara berburu dan meramu, variasi masyarakat berburu, penguasaan dan hak milik terhadap wilayah, dan senjata serta teknik berburu.
a.       Hubungan antara berburu dan meramu
Berburu dan meramu adalah kegiatan ekonomi yang berkaitan erat.Suku bangsa yang berburu, di samping berburu binatang tertentu, biasanya juga mengumpulkan tumbuh-tumbuhan dan akar-akaran yang bisa dimakan. Bahkan mencari ikan, pada berbagai suku bangsa berburu juga dilakukan sebagai suatu cara untuk mencari pangan. Kegiatan-kegiatan tersebut disebut dengan “ekonomi pengumpulan pangan” atau food gathering economics.
     Kurang lebih 2.000.000 tahun lamanya kegiatan ekonomi tersebut merupakan satu-satunya sistem mata pencaharian manusia, dan sejak akhir abad ke 19 kegiatan tersebut  mulai menghilang. Mulai menghilang bukan berarti bahwa kegiatan tersebut habis sama sekali, karena pada suku-suku pedalaman di Indonesia misalnya masih menjalankan kegiatan berburu dan meramu tersebut.
     Ada 5 macam daerah yang menjadi tempat berburu dan meramu, yakni hutan rimba tropik (seperti di Togo, Kamerun, Kongo, dan pedalaman Malaya, daerah hutan koniferus (seperti di Kanada Barat Laut), daerah padang rumput dan stepa (seperti di Amerika Utara dan Argentina), daerah gurun (seperti di Afrika Selatan dan Australia, dan daerah iklim kutub (seperti di pantai utara Kanada dan pantai Greenland.
b.       Bentuk-bentuk masyarakat berburu
Ada dua bentuk dasar dari masyarakat berburu, yakni patrilineal hunting band dan composite hunting band.Patrilineal hunting band hidup di daerah-daerah yang binatangnya hidup berpencar, tidak dalam kawanan, dan tidak mengembara menurut musim.Sebagian besar dari kelompok berburu ini rata-rata sebanyak 50 individu, keanggotaan menurut garis keturunan pihak ayah, dan adat perkawinannya exogami (di luar kelompok).
      Composite hunting band hidup di daerah-daerah yang binatang buruannya hidup dalam kawanan yang besar dan mengembara pada jarak yang jauh menurut musim.Keanggotaan kelompok lebih besar, sekitar 100 individu dan tidak lagi harus patrilineal, dan adat perkawinannya tidak bersifat exogami.
      Di samping perbedaan pada beberapa aspek di atas, antara kedua bentuk masyarakat berburu tersebut juga dicirikan oleh luas wilayah buruan. Pada bentuk yang pertama, wilayah buruannya  adalah antara 100 mil sampai 500 mil persegi, sementara pada bentuk kedua, wilayah buruannya  sampai 2.000 mil persegi.
c.        Penguasaan dan hak milik wilayah
Pada dasarnya suatu kelompok berburu selalu melakukan kegiatan berburu pada wilayah dengan batas-batas yang tetap, yang tidak akan melampaui dan akan dipertahankan dari pelanggaran-pelanggaran pihak luar. Kesadaran akan wilayah eksklusif tersebut lebih kental pada kelompok patrilineal band.
      Pada patrilineal band, penguasaan kelompok terhadap wilayahnya bersi-fat penguasaan secara hak ulayat.Kelompok menguasai wilayah serta segala isinya guna dimanfaatkan oleh anggota-anggotanya untuk mencari tumbuh-tumbuhan/akar-akaran dan untuk berburu.Ketika musim berburu, kelompok patrilineal ini sering memencar dalam regu-regu kecil (dua sampai tiga keluarga) untuk beberapa bulan lamanya pada sebagian wilayah besar kelompok induk.Kegiatan regu-regu kecil ini membuat wilayah induk pecah menjadi hak-hak khusus atau hak ulayat khusus.
Composite band biasanya menempati wilayah yang agak besar.Anggota kelompok seringkali bercampur dan tidak lagi terdiri dari orang-orang yang hubungan kekerabatannya menurut garis keturunan tertentu.Pada kelompok ini, kesadaran hak milik lebih berkembang, sehingga muncul hak milik sendiri, hak milik kerabat isteri, hak milik kerabat suami, dan seterusnya.
d.       Senjata dan teknik berburu
Beberapa macam senjata yang digunakan oleh masyarakat berburu dan meramu antara lain adalah senjata pemotong, senjata pemukul, senjata lempar, senjata tusuk, tombak, busur, dan sebagainya. Adapun teknik menangkap binatang buruan adalah dengan perangkap dan menggunakan racun. Penggunaan perangkap bisanya dengan dua cara, yakni dengan sistem umpan dan sistem menggiring.
      Untuk mengemas dan membawa hasil buruan dan ramuan, masyarakat berburu memakai keranjang sederhana, karung, atau wadah lain dari daun-daunan, yang dengan mudah dapat dibuat bila diperlukan dan dibuang manakala tidak dibutuhkan lagi. Adakalanya juga menggunakan kulit kayu atau kulit binatang.Untuk membawa air, bangsa berburu memakai kulit buah labu, bambu, kantong-kantong dari kulit kayu, kulit telur burung unta, dan sebagainya.
      Sebagai alat transportasi buruan, mereka menggunakan penggeretan yang ditarik oleh binatang seperti anjing, rusa, kuda, dan lain-lain.Untuk daerah sungai mereka menggunakan perahu sebagai alat angkutan.

2.      Perikanan
Para nelayan yag mencari ikan di laut biasanya berlayar menyusur pantai, terutama di daerah teluk-teluk. Menurut para ahli, lebih dari separoh ikan di seluruh dunia hidup dalam kawanan yang beribu-ribu jumlahnya pada jarak antara 30 sampai 10 km dari pantai. Pada musim-musim tertentu kawanan ikan tersebut  lebih mendekat ke pantai dan masuk ke teluk untuk mencari air tenang untuk bertelur.
Dibandingkan dengan berburu, mata pencaharian nelayan lebih banyak tergantung kepada perkembangan teknologi, seperti  kail, tombak, jala, di sam-ping membutuhkan perahu dengan segala jenis peralatannya. Para nelayan berusaha untuk memiliki perahu besar, yang dikemudikan oleh 4 dampai 5 orang, sehingga mereka bisa berlayar lebih jauh dari pantai 7 sampai 8 km. Pengetahuan yang teliti mengenai sifat-sifat laut, angin, arus-arus, dan mengenai binatang di langit sebagai pedoman dalam mengemudikan perahu dan melaut. Karena mencari ikan di laut lebih banyak bahaya dan resikonya, maka para nelayan juga sering menggunakan metode ilmu gaib untuk melengkapi metode-metode teknologis.

3.      Permulaan Bercocok Tanam
Mata pencaharian berbcocok tanam muncul sesudah berburu dan meramu, yang menurut para ahli merupakan sebuah loncatan hebat dalam proses perkembangan kebudayaan manusia. Kepandaian baru tersebut timbul secara perlahan dan berangsur di berbagai tempat di dunia. Diduga, bercocok tanam diawali dengan aktivitas mempertahankan/memelihara tumbuh-tumbuhan di tempat tertentu dengan membersihkan tanaman-tanaman pengganggu dan dari serangan binatang. Hal ini diperkirakan terjadi kira-kira 10.000 tahun yang lalu.Bercocok tanam merupakan mata pencaharian hidup makhluk manusia yang amat tua, yang mucul pada zaman batu baru (Neolithik), sesudah mata pencaharian berburu dan meramu pada zaman batu tua (Paleolithik).
      Tempat di mana manusia bercocok tanam, para ahli berkesimpulan bahwa berbagai macam tanaman yang ada sekarang tersebar dan tercampur di berbagai daerah yang luas. Adapun daerah asal mula bercocok tanam adalah sebagai berikut:
a.       Daerah sungai-sungai besar di Asia Tenggara, seperti Mekong, Salwin, dan Irawadi, yang selanjutnya menyebar ke Indonesia, Pilipina, dan Sungai Gangga di India. Dari sinilah berasal tanaman padi dan talas.
b.      Daerah sungai-sungai di Asia Timur, seperti Yatse dan Hoangho, dengan tanaman sayuran, pohon merbei, dan kedelai.
c.       Asia Barat Daya, sepert Sungai Tigris dan Sungai Alfurat di Iraq, selanjutnya menyebar ke Iran, Afganistan, dan Pakistan. Kebanyakan tanamannya adalah buah-buahan Eropah.
d.      Daerah Laut Tengah, terutama Mesir, Palestina, dan juga Italia dan Spanyol, dengan tanaman buah zait dan buah ara.
e.       Daerah Afrika Timur, yakni Abesinea dengan tanaman gandum yang terkenal.
f.       Daerah Afrika Barat sekitar hulu Sungai Sinegal, dengan  tanaman gandum dan sorghum.
g.      Daerah Mexiko Selatan yang menyebar ke utara yakni Mexiko dan daerah Sungai Mississippi, dengan tanaman jagung, kapas, kasava, dan sebagainya.
h.      Daerah Peru di Amerika Selatan sebagai tanah asal kentang, dan mungkin juga kasava dan ubi.

4.      Bercocok Tanam di Ladang
Bercocok tanam di ladang dilakukan terutama di daerah hutan rimba tropik dan daerah sabana dan subtropik. Cara penggunaan lahan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a.       Daerah hutan atau sabana dibersihkan dengan cara ditebang dan dibakar.
b.      Tanah ladang yang telah dibuka ditanami satu sampai tiga kali (kira-kira 1—2 tahun).
c.       Ladang kemudian dibiarkan untuk waktu lama (10—15 tahun).
d.      Hutan bekas ladang dibuka lagi dengan cara seperti di atas.
Dalah hal bercocok tanam di rimba tropik, hutan diklasifikasika kepada lima  jenis sebagai berikut:
a.       Hutan rimba primer, yang berumur lebih dari 15 tahun, terdiri dari pohon-pohon tinggi besar, tetapi tumbuh-tumbuhan dan belukar bawahnya sedikit.
b.      Hutan rimba sekunder, yang berumur 12—13 tahun, terdiri dari pohon-pohon tinggi besar, tetapi tumbuh-tumbuhan dan belukar bawahnya tebal.
c.       Hutan sekunder muda, yang berumur lkurang dari 12 tahun, terdiri dari pohon-pohon muda kecil, tetapi tumbuh-tumbuhan dan belukar bawahnya tebal.
d.      Hutan belukar, yang berumur kira-kira 6 bulan lebih, terdiri dari beberapa pohon muda dan belukar bawah yang tebal.
e.       Padang alang-alang.
Dalam bercocok tanam, tipe yang paling digemari oleh bangsa yang bercocok tanam adalah hutan rimba primer, karena pada tipe ini tidak dibutuhkan tenaga ekstra untuk membersihkannya. Tipe yang paling dihindari oleh mereka adalah tipe terakhir, yaitu padang alang-alang.
Kepadatan penduduk ideal untuk sistem bercocok tanam ini adalah kira-kira 50 jiwa/km persegi.Jika melampaui batas kepadatan tersebut, akibatnya adalah terjadinya perselisihan dan pertengkaran, di samping cepat berkurangnya kesuburan tanah.
Di samping kepadatan penduduk, cara-cara hidup tertentu juga melenyap-kan kesuburan tanah.Contohnya, pola perkempungan Suku Iban di Serawak. Orang Iban tinggal dalam rumah-rumah panjang yang berdiri di atas tiang-tiang besar, yang merupakan suatu deret dari rumah-rumah petak yang bergandengan. Petak tersebut disebut bilek, rata-rata 14 bilek dan paling panjang 50 bilek.Rumah-rumah seperti ini sukar dipindah-pindah, sementara orang Iban amat terpaku kepada desa mereka.Hal ini menyebabkan dalam pembukaan ladang mereka tidak terlampau jauh dari desa, sehingga mereka cepat kembali ke ladang sebelumnya, yang kesuburannya belum pulih.
Kepemilikan ladang merpakan hak milik umum atau kelompok, baik berupa kerabat atau berupa desa.Pada berbagai suku bangsa, ada gejala yang menimbulkan hak milik individu.Hal ini karena setelah menggarap ladang dan memanen hasilnya, si individu menanam tumbuh-tumbuhan yang berumur panjang di ladang tersebut.
Dalam memilih lahan untuk ladang, individu akan dibatasi oleh hal-hal sebagai berikut:
a.       Pilihan orang lain yang mendahului pilihannya.
b.      Tanaman yang berumur panjang yang ditanami oleh orang lain
c.       Jarak dari desa, dengan dua kemungkinan, yakni dengan membangun gubuk-gubuk di ladang baru atau memindahkan desa ke dekat ladang baru.
d.      Jenis hutan, di mana yang digemari adalah hutan primer.
e.       Tanda-tanda gaib, yang kebetulan muncul di tempat tinggal, yang menjadi impian si peladang, atau yang diperhitungkan oleh dukun-dukun peramal.
Bercocok tanam dilakukan oleh keluarga batih yang terdiri dari 3—5 orang dengan prosedur kerja meliputi: (1) Membersihkan belukar bawah pada paroh akhir dari musim hujan; (2)  Sebulan kemudian menebang pohon yang berdiameter 100—150 cm dengan kapak, yang dilakukan oleh pria; (3)  Tiga bulan sesudahnya, membakar hasil penebangan. Membakar tersebut tidak boleh meluas ke ladang tetangga atau ke hutan lain; (4) Memagari ladang dan membangun gubuk; (5) Menanami ladang dengan menggunakan tugal atau tongkat runcing; (6) Memelihara tanaman dari tanaman penganggu, binatang, dan hama perusak, di samping berburu dan meramu serta mencari ikan; (7) Memanen hasil ladang 3—4 bulan kemudian dengan gotong royong dan mengangkutya ke desa; (8) Sesudah panen, datang masa pesta; (9)  Memulai lagi penanaman setelah membersihkan belukar, karena dibiarkan beberapa lama; dan (10) Setelah beberapa kali panen (kira 2—3 tahun), mereka membuka ladang baru lagi.
Pengerahan tenaga ada dengan kesatuan kerja keluarga batih dan ada dengan keluarga luas. Bila membutuhkan tenaga tambahan, maka diperoleh dengan cara saling tolong-menolong dan meminta bantuan warga dengan kompensasi sekedarnya. Di Sumbawa, sistem gotong royong ini dilasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni basire, saleng tulong, dan nulong.

5.      Bercocok Tanam Menetap
Munculnya becocok tanam menetap ini karena teknik pertanian manusia sudah mencapai taraf tertentu dalam rangka mengatasi berbagai persoalan/ rintangan alam. Bercocok tanam ini dilakukan manusia dengan menggunakan dua cara, yakni dengan bajak dan tampa bajak. Bajak yang digunakan bisa bajak kecil dan bisa bajak besar.Bajak kecil ditarik dengan tenaga manusia dan bintang, sementara bajak besar ditarik dengan tenga binatang sebanyak empat ekor sapi, kerbau, kuda, dan sebagainya.
Kepemilikan tanah, dengan kasus Pulau Jawa misalnya, kepemilikannya digolongkan kepada empat hal, yakni milik komunal dengan pemakaian beralih-alih (lokasi/tempat), milik komunal dengan pemakaian bergiliran (pemakainya), milik komunal dengan pemakaian tetap bagi warga yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu tehadap desa (pamong desa, kuli atau gogol), dan milik individu (tanah pikulen dan tanah yasan). Bagi orang yang tidak memiliki tanah, maka yang dapat dilakukannya dalam bercocok tanam adalah dengan cara (1) menyewa tanah, (2) bagi hasil, dan (3) menerima gadai tanah.    
Pada bercocok tanam sebelumnya, di mana masalah kualitas lahan diserahkan pada kondisi alam, maka pada bercocok tanam menetap diusahakan dengan cara-cara antara lain (1) mengintensifkan cara pengolahan tanah, (2) cara pemupukan tanah, (3) pergantian tanaman, dan (4) dengan irigasi.
Pengerahan tenaga bersama  (gotong royong) juga dimanfaatkan untuk bercocok tanam, namun juga untuk kegiatan-kegiatan lain, yakni dalam hal kematian, perkejaan sekitar rumah tangga, dalam hal pesta-pesta, dan dalam pekerjaan untuk kepentingan umum.
Pengerahan tenaga dalam bercocok tanam membayar tenaga buruh dengan dua macam, yaitu upah secara adat dan upah berupa uang.Upah secara adat dibayar dengan sebagian dari hasil pertanian, yang bagiannya tergantung keadaan dan kondisi.Jika pada suatu daerah tenaga buruh berlimpah, maka bagian upahnya menjadi kecil.Dalam keadaan normal, buruh wanita biasanya sudah puas dengan upah 1/25 dari hasil panen.Upah berupa uang, seperti lazimnya pengupahan pada umumnya, maka pengupahannya dengan upah harian dan dengan sistem borongan.





DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, 1992.Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat

Pritchart, E.E. Evans. 1986. Antropologi Sosial. (Terjemahan: Nancy Siman-juntak). Jakarta: Bumi Aksara

Tidak ada komentar: