ASPEK ANTROPOLOGI SOSIAL
A.Sistem
Mata Pencaharian
Untuk
dapat memahami sistem mata pencaharian nenek moyang
manu-sia, perlu dijelaskan tentang perkembangan mata pencaharian tersebut,
yakni dari berburu dan meramu, perikanan, permulaan bercocok tanam, bercocok
tanam di ladang, dan bercocok tanam menetap.
1.
Berburu dan Meramu
Sehubungan
dengan berburu dan meramu akan dikemukakan beberapa hal yang berkaitan dengan mata pencaharian
tersebut, yakni hubungan antara berburu dan meramu, variasi masyarakat berburu,
penguasaan dan hak milik terhadap wilayah, dan senjata serta teknik berburu.
a.
Hubungan antara berburu dan meramu
Berburu dan
meramu adalah kegiatan ekonomi yang berkaitan erat.Suku bangsa yang berburu, di
samping berburu binatang tertentu, biasanya juga mengumpulkan tumbuh-tumbuhan
dan akar-akaran yang bisa dimakan. Bahkan mencari ikan, pada berbagai suku
bangsa berburu juga dilakukan sebagai suatu cara untuk mencari pangan.
Kegiatan-kegiatan tersebut disebut dengan “ekonomi pengumpulan pangan” atau food gathering economics.
Kurang lebih 2.000.000 tahun lamanya
kegiatan ekonomi tersebut merupakan satu-satunya sistem mata pencaharian
manusia, dan sejak akhir abad ke 19 kegiatan tersebut mulai menghilang. Mulai menghilang bukan
berarti bahwa kegiatan tersebut habis sama sekali, karena pada suku-suku
pedalaman di Indonesia misalnya masih menjalankan kegiatan berburu dan meramu
tersebut.
Ada 5 macam daerah yang menjadi tempat
berburu dan meramu, yakni hutan rimba tropik (seperti di Togo, Kamerun, Kongo,
dan pedalaman Malaya, daerah hutan koniferus (seperti di Kanada Barat Laut),
daerah padang rumput dan stepa (seperti di Amerika Utara dan Argentina), daerah
gurun (seperti di Afrika Selatan dan Australia, dan daerah iklim kutub (seperti
di pantai utara Kanada dan pantai Greenland.
b.
Bentuk-bentuk masyarakat berburu
Ada dua bentuk
dasar dari masyarakat berburu, yakni patrilineal
hunting band dan composite hunting
band.Patrilineal hunting band hidup di daerah-daerah yang binatangnya hidup
berpencar, tidak dalam kawanan, dan tidak mengembara menurut musim.Sebagian
besar dari kelompok berburu ini rata-rata sebanyak 50 individu, keanggotaan
menurut garis keturunan pihak ayah, dan adat perkawinannya exogami (di luar kelompok).
Composite
hunting band hidup di daerah-daerah yang binatang buruannya hidup dalam
kawanan yang besar dan mengembara pada jarak yang jauh menurut
musim.Keanggotaan kelompok lebih besar, sekitar 100 individu dan tidak lagi
harus patrilineal, dan adat
perkawinannya tidak bersifat exogami.
Di samping perbedaan pada beberapa aspek
di atas, antara kedua bentuk masyarakat berburu tersebut juga dicirikan oleh
luas wilayah buruan. Pada bentuk yang pertama, wilayah buruannya adalah antara 100 mil sampai 500 mil persegi,
sementara pada bentuk kedua, wilayah buruannya
sampai 2.000 mil persegi.
c.
Penguasaan dan hak milik wilayah
Pada dasarnya
suatu kelompok berburu selalu melakukan kegiatan berburu pada wilayah dengan
batas-batas yang tetap, yang tidak akan melampaui dan akan dipertahankan dari
pelanggaran-pelanggaran pihak luar. Kesadaran akan wilayah eksklusif tersebut
lebih kental pada kelompok patrilineal
band.
Pada patrilineal
band, penguasaan kelompok terhadap wilayahnya bersi-fat penguasaan secara
hak ulayat.Kelompok menguasai wilayah serta segala isinya guna dimanfaatkan
oleh anggota-anggotanya untuk mencari tumbuh-tumbuhan/akar-akaran dan untuk
berburu.Ketika musim berburu, kelompok patrilineal ini sering memencar dalam
regu-regu kecil (dua sampai tiga keluarga) untuk beberapa bulan lamanya pada
sebagian wilayah besar kelompok induk.Kegiatan regu-regu kecil ini membuat
wilayah induk pecah menjadi hak-hak khusus atau hak ulayat khusus.
Composite band
biasanya menempati wilayah yang agak besar.Anggota kelompok seringkali
bercampur dan tidak lagi terdiri dari orang-orang yang hubungan kekerabatannya
menurut garis keturunan tertentu.Pada kelompok ini, kesadaran hak milik lebih
berkembang, sehingga muncul hak milik sendiri, hak milik kerabat isteri, hak
milik kerabat suami, dan seterusnya.
d. Senjata dan teknik berburu
Beberapa macam
senjata yang digunakan oleh masyarakat berburu dan meramu antara lain adalah
senjata pemotong, senjata pemukul, senjata lempar, senjata tusuk, tombak,
busur, dan sebagainya. Adapun teknik menangkap binatang buruan adalah dengan
perangkap dan menggunakan racun. Penggunaan perangkap bisanya dengan dua cara,
yakni dengan sistem umpan dan sistem menggiring.
Untuk mengemas dan membawa hasil buruan
dan ramuan, masyarakat berburu memakai keranjang sederhana, karung, atau wadah
lain dari daun-daunan, yang dengan mudah dapat dibuat bila diperlukan dan
dibuang manakala tidak dibutuhkan lagi. Adakalanya juga menggunakan kulit kayu
atau kulit binatang.Untuk membawa air, bangsa berburu memakai kulit buah labu,
bambu, kantong-kantong dari kulit kayu, kulit telur burung unta, dan
sebagainya.
Sebagai alat transportasi buruan, mereka
menggunakan penggeretan yang ditarik oleh binatang seperti anjing, rusa, kuda,
dan lain-lain.Untuk daerah sungai mereka menggunakan perahu sebagai alat
angkutan.
2.
Perikanan
Para
nelayan yag mencari ikan di laut biasanya berlayar menyusur pantai, terutama di
daerah teluk-teluk. Menurut para ahli, lebih dari separoh ikan di seluruh dunia
hidup dalam kawanan yang beribu-ribu jumlahnya pada jarak antara 30 sampai 10
km dari pantai. Pada musim-musim tertentu kawanan ikan tersebut lebih mendekat ke pantai dan masuk ke teluk
untuk mencari air tenang untuk bertelur.
Dibandingkan
dengan berburu, mata pencaharian nelayan lebih banyak tergantung kepada
perkembangan teknologi, seperti kail,
tombak, jala, di sam-ping membutuhkan perahu dengan segala jenis peralatannya.
Para nelayan berusaha untuk memiliki perahu besar, yang dikemudikan oleh 4
dampai 5 orang, sehingga mereka bisa berlayar lebih jauh dari pantai 7 sampai 8
km. Pengetahuan yang teliti mengenai sifat-sifat laut, angin, arus-arus, dan
mengenai binatang di langit sebagai pedoman dalam mengemudikan perahu dan
melaut. Karena mencari ikan di laut lebih banyak bahaya dan resikonya, maka
para nelayan juga sering menggunakan metode ilmu gaib untuk melengkapi
metode-metode teknologis.
3.
Permulaan Bercocok Tanam
Mata pencaharian
berbcocok tanam muncul sesudah berburu dan meramu, yang menurut para ahli
merupakan sebuah loncatan hebat dalam proses perkembangan kebudayaan manusia. Kepandaian
baru tersebut timbul secara perlahan dan berangsur di berbagai tempat di dunia.
Diduga, bercocok tanam diawali dengan aktivitas mempertahankan/memelihara
tumbuh-tumbuhan di tempat tertentu dengan membersihkan tanaman-tanaman
pengganggu dan dari serangan binatang. Hal ini diperkirakan terjadi kira-kira
10.000 tahun yang lalu.Bercocok tanam merupakan mata pencaharian hidup makhluk
manusia yang amat tua, yang mucul pada zaman batu baru (Neolithik), sesudah
mata pencaharian berburu dan meramu pada zaman batu tua (Paleolithik).
Tempat di mana manusia bercocok tanam,
para ahli berkesimpulan bahwa berbagai macam tanaman yang ada sekarang tersebar
dan tercampur di berbagai daerah yang luas. Adapun daerah asal mula bercocok
tanam adalah sebagai berikut:
a. Daerah sungai-sungai besar di Asia
Tenggara, seperti Mekong, Salwin, dan Irawadi, yang selanjutnya menyebar ke
Indonesia, Pilipina, dan Sungai Gangga di India. Dari sinilah berasal tanaman
padi dan talas.
b. Daerah sungai-sungai di Asia Timur,
seperti Yatse dan Hoangho, dengan tanaman sayuran, pohon merbei, dan kedelai.
c. Asia Barat Daya, sepert Sungai Tigris
dan Sungai Alfurat di Iraq, selanjutnya menyebar ke Iran, Afganistan, dan
Pakistan. Kebanyakan tanamannya adalah buah-buahan Eropah.
d. Daerah Laut Tengah, terutama Mesir,
Palestina, dan juga Italia dan Spanyol, dengan tanaman buah zait dan buah ara.
e. Daerah Afrika Timur, yakni Abesinea
dengan tanaman gandum yang terkenal.
f. Daerah Afrika Barat sekitar hulu Sungai
Sinegal, dengan tanaman gandum dan
sorghum.
g. Daerah Mexiko Selatan yang menyebar ke
utara yakni Mexiko dan daerah Sungai Mississippi, dengan tanaman jagung, kapas,
kasava, dan sebagainya.
h. Daerah Peru di Amerika Selatan sebagai
tanah asal kentang, dan mungkin juga kasava dan ubi.
4.
Bercocok Tanam di Ladang
Bercocok tanam
di ladang dilakukan terutama di daerah hutan rimba tropik dan daerah sabana dan
subtropik. Cara penggunaan lahan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Daerah hutan atau sabana dibersihkan
dengan cara ditebang dan dibakar.
b. Tanah ladang yang telah dibuka ditanami
satu sampai tiga kali (kira-kira 1—2 tahun).
c. Ladang kemudian dibiarkan untuk waktu
lama (10—15 tahun).
d. Hutan bekas ladang dibuka lagi dengan
cara seperti di atas.
Dalah hal
bercocok tanam di rimba tropik, hutan diklasifikasika kepada lima jenis sebagai berikut:
a. Hutan rimba primer, yang berumur lebih
dari 15 tahun, terdiri dari pohon-pohon tinggi besar, tetapi tumbuh-tumbuhan
dan belukar bawahnya sedikit.
b. Hutan rimba sekunder, yang berumur 12—13
tahun, terdiri dari pohon-pohon tinggi besar, tetapi tumbuh-tumbuhan dan
belukar bawahnya tebal.
c. Hutan sekunder muda, yang berumur
lkurang dari 12 tahun, terdiri dari pohon-pohon muda kecil, tetapi
tumbuh-tumbuhan dan belukar bawahnya tebal.
d. Hutan belukar, yang berumur kira-kira 6
bulan lebih, terdiri dari beberapa pohon muda dan belukar bawah yang tebal.
e. Padang alang-alang.
Dalam bercocok tanam, tipe yang paling
digemari oleh bangsa yang bercocok tanam adalah hutan rimba primer, karena pada
tipe ini tidak dibutuhkan tenaga ekstra untuk membersihkannya. Tipe yang paling
dihindari oleh mereka adalah tipe terakhir, yaitu padang alang-alang.
Kepadatan penduduk ideal untuk sistem
bercocok tanam ini adalah kira-kira 50 jiwa/km persegi.Jika melampaui batas
kepadatan tersebut, akibatnya adalah terjadinya perselisihan dan pertengkaran,
di samping cepat berkurangnya kesuburan tanah.
Di samping kepadatan penduduk, cara-cara
hidup tertentu juga melenyap-kan kesuburan tanah.Contohnya, pola perkempungan
Suku Iban di Serawak. Orang Iban tinggal dalam rumah-rumah panjang yang berdiri
di atas tiang-tiang besar, yang merupakan suatu deret dari rumah-rumah petak
yang bergandengan. Petak tersebut disebut bilek,
rata-rata 14 bilek dan paling panjang
50 bilek.Rumah-rumah seperti ini
sukar dipindah-pindah, sementara orang Iban amat terpaku kepada desa mereka.Hal
ini menyebabkan dalam pembukaan ladang mereka tidak terlampau jauh dari desa,
sehingga mereka cepat kembali ke ladang sebelumnya, yang kesuburannya belum
pulih.
Kepemilikan ladang merpakan hak milik
umum atau kelompok, baik berupa kerabat atau berupa desa.Pada berbagai suku
bangsa, ada gejala yang menimbulkan hak milik individu.Hal ini karena setelah
menggarap ladang dan memanen hasilnya, si individu menanam tumbuh-tumbuhan yang
berumur panjang di ladang tersebut.
Dalam memilih lahan untuk ladang,
individu akan dibatasi oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Pilihan orang lain yang mendahului
pilihannya.
b. Tanaman yang berumur panjang yang
ditanami oleh orang lain
c. Jarak dari desa, dengan dua kemungkinan,
yakni dengan membangun gubuk-gubuk di ladang baru atau memindahkan desa ke
dekat ladang baru.
d. Jenis hutan, di mana yang digemari
adalah hutan primer.
e. Tanda-tanda gaib, yang kebetulan muncul
di tempat tinggal, yang menjadi impian si peladang, atau yang diperhitungkan oleh
dukun-dukun peramal.
Bercocok tanam
dilakukan oleh keluarga batih yang terdiri dari 3—5 orang dengan prosedur kerja
meliputi: (1) Membersihkan belukar bawah pada paroh akhir dari musim hujan;
(2) Sebulan kemudian menebang pohon yang
berdiameter 100—150 cm dengan kapak, yang dilakukan oleh pria; (3) Tiga bulan sesudahnya, membakar hasil
penebangan. Membakar tersebut tidak boleh meluas ke ladang tetangga atau ke
hutan lain; (4) Memagari ladang dan membangun gubuk; (5) Menanami ladang dengan
menggunakan tugal atau tongkat runcing; (6) Memelihara tanaman dari tanaman
penganggu, binatang, dan hama perusak, di samping berburu dan meramu serta
mencari ikan; (7) Memanen hasil ladang 3—4 bulan kemudian dengan gotong royong
dan mengangkutya ke desa; (8) Sesudah panen, datang masa pesta; (9) Memulai lagi penanaman setelah membersihkan
belukar, karena dibiarkan beberapa lama; dan (10) Setelah beberapa kali panen
(kira 2—3 tahun), mereka membuka ladang baru lagi.
Pengerahan
tenaga ada dengan kesatuan kerja keluarga batih dan ada dengan keluarga luas.
Bila membutuhkan tenaga tambahan, maka diperoleh dengan cara saling
tolong-menolong dan meminta bantuan warga dengan kompensasi sekedarnya. Di
Sumbawa, sistem gotong royong ini dilasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni basire, saleng tulong, dan nulong.
5.
Bercocok Tanam Menetap
Munculnya
becocok tanam menetap ini karena teknik pertanian manusia sudah mencapai taraf
tertentu dalam rangka mengatasi berbagai persoalan/ rintangan alam. Bercocok
tanam ini dilakukan manusia dengan menggunakan dua cara, yakni dengan bajak dan
tampa bajak. Bajak yang digunakan bisa bajak kecil dan bisa bajak besar.Bajak
kecil ditarik dengan tenaga manusia dan bintang, sementara bajak besar ditarik
dengan tenga binatang sebanyak empat ekor sapi, kerbau, kuda, dan sebagainya.
Kepemilikan
tanah, dengan kasus Pulau Jawa misalnya, kepemilikannya digolongkan kepada
empat hal, yakni milik komunal dengan pemakaian beralih-alih (lokasi/tempat),
milik komunal dengan pemakaian bergiliran (pemakainya), milik komunal dengan
pemakaian tetap bagi warga yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu tehadap
desa (pamong desa, kuli atau gogol), dan milik individu (tanah pikulen dan tanah yasan). Bagi orang yang tidak memiliki tanah, maka yang dapat
dilakukannya dalam bercocok tanam adalah dengan cara (1) menyewa tanah, (2)
bagi hasil, dan (3) menerima gadai tanah.
Pada bercocok
tanam sebelumnya, di mana masalah kualitas lahan diserahkan pada kondisi alam,
maka pada bercocok tanam menetap diusahakan dengan cara-cara antara lain (1)
mengintensifkan cara pengolahan tanah, (2) cara pemupukan tanah, (3) pergantian
tanaman, dan (4) dengan irigasi.
Pengerahan
tenaga bersama (gotong royong) juga
dimanfaatkan untuk bercocok tanam, namun juga untuk kegiatan-kegiatan lain,
yakni dalam hal kematian, perkejaan sekitar rumah tangga, dalam hal
pesta-pesta, dan dalam pekerjaan untuk kepentingan umum.
Pengerahan
tenaga dalam bercocok tanam membayar tenaga buruh dengan dua macam, yaitu upah
secara adat dan upah berupa uang.Upah secara adat dibayar dengan sebagian dari
hasil pertanian, yang bagiannya tergantung keadaan dan kondisi.Jika pada suatu
daerah tenaga buruh berlimpah, maka bagian upahnya menjadi kecil.Dalam keadaan
normal, buruh wanita biasanya sudah puas dengan upah 1/25 dari hasil panen.Upah
berupa uang, seperti lazimnya pengupahan pada umumnya, maka pengupahannya
dengan upah harian dan dengan sistem borongan.
DAFTAR
PUSTAKA
Koentjaraningrat,
1992.Beberapa Pokok Antropologi Sosial.
Jakarta: PT Dian Rakyat
Pritchart,
E.E. Evans. 1986. Antropologi Sosial.
(Terjemahan: Nancy Siman-juntak). Jakarta: Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar